Massanger

Tinggalkan Pesan

Nyang mau langganan artikel GRATIS

Tulis alamat Email anda:

Delivered by FeedBurner

Kenapa Mendaki Gunung ?

Jumat, 15 Januari 2010

Mendaki gunung adalah salah satu bentuk olahraga, hanya saja dilakukan di tengah alam terbuka yang liar bahkan cenderung extrem, sebuah lingkungan yang sesungguhnya bukan habitat manusia.
Sebagai gambaran, Badan SAR Nasional mendata bahwa dari bulan Januari 1998 sampai dengan April 2001 tercatat 47 korban pendakian gunung di Indonesia yang terdiri dari 10 orang meninggal, 8 orang hilang, 29 orang selamat, 2 orang luka berat dan 1 orang luka ringan, dari seluruh pendakian yang tercatat (Badan SAR Nasional, 2001).

Data lain, sejak tahun 1969 sampai 2001, gunung Gede dan Pangrango di Jawa Barat telah memakan korban jiwa sebanyak 34 orang. Selanjutnya, dari 4000 orang yang berusaha mendaki puncak Everest sebagai puncak gunung tertinggi di dunia, hanya 400 orang yang berhasil mencapai puncak dan sekitar 100 orang meninggal. Rata-rata kecelakaan yang terjadi pada pendakian dibawah 8000 m telah tercatat sebanyak 25% pada setiap periode pendakian.
Memang, mendaki gunung memiliki unsur petualangan. Petualangan adalah sebagai satu bentuk pikiran yang mulai dengan perasaan tidak pasti mengenai hasil perjalanan dan selalu berakhir dengan perasaan puas karena suksesnya perjalanan tersebut. Perasaan yang muncul saat bertualang adalah rasa takut menghadapi bahaya secara fisik atau psikologis. Tanpa adanya rasa takut maka tidak ada petualangan karena tidak ada pula tantangan.
Resiko mendaki gunung yang tinggi, tidak menghalangi para pendaki untuk tetap melanjutan pendakian, karena para pendaki gunung memiliki kecenderungan sensation seeking [pemburuan sensasi] tinggi. Para sensation seeker menganggap dan menerima risiko sebagai nilai atau harga dari sesuatu yang didapatkan dari sensasi atau pengalaman itu sendiri. Pengalaman-pengalaman yang menyenangkan maupun kurang menyenangkan tersebut membentuk self-esteem [kebanggaan /kepercayaan diri].
Pendaki gunung legendaris asal Inggris, Sir George Leigh Mallory, kerap menjawab pendek pertanyaan mengapa ia begitu "tergila-gila" naik gunung. "Because it‘s there" ujarnya. Selain jawaban itu, masih banyak alasan mengapa seseorang mendaki gunung atau menggeluti kegiatan petualangan lainnya.
Anggota-anggota kelompok pencinta alam di Indonesia contohnya. Mereka punya alasan lebih panjang dari Mallory. "Nasionalisme tidak dapat tumbuh dari slogan atau indoktrinasi. Cinta tanah air hanya tumbuh dari melihat langsung alam dan masyarakatnya. Untuk itulah kami naik gunung".
Bagaimanapun, gunung dengan rimba liarnya, tebing terjal, udara dingin, kencangnya angin yang membuat tulang ngilu, malam yang gelap dan kabut yang pekat bukanlah habitat manusia modern. Bahaya yang dikandung alam itu akan menjadi semakin besar bila pendaki gunung tidak membekali diri dengan peralatan, kekuatan fisik, pengetahuan tentang alam, dan navigasi yang baik. Tanpa persiapan yang baik, naik gunung tidak bermakna apa-apa.

Secara umum, ada dua faktor yang mempengaruhi berhasil tidaknya pendakian gunung, yaitu :
1. Faktor ekstern atau faktor yang berasal dari luar diri pendaki.
Cuaca, kondisi alam, gas beracun yang dikandung gunung dan sebagainya yang merupakan sifat dan bagian alam. Karena itu, bahaya yang mungkin timbul seperti angin badai, pohon tumbang, letusan gunung atau meruapnya gas beracun dikategorikan sebagai bahaya objektif (objective danger). Seringkali faktor itu berubah dengan cepat di luar dugaan manusia.
2. Faktor intern atau faktor yang berasal dari dalam diri pendaki.
Seperti kondisi fisik, pengetahuan dan persiapan. Bila pendaki tidak mempersiapkan pendakian, maka dia hanya memperbesar bahaya subyektif (subjective danger). Misalnya, bahaya kedinginan karena pendaki tidak membawa jaket tebal atau tenda untuk melawan dinginnya udara dan kencangnya angin.

Tidak bisa ditawar, mendaki gunung adalah kegiatan fisik berat. Karena itu, kebugaran fisik adalah hal mutlak. Untuk berjalan dan menarik badan dari rintangan dahan atau batu, otot tungkai dan tangan harus kuat. Untuk menahan beban ransel, otot bahu harus kuat. Daya tahan (endurance) amat diperlukan karena dibutuhkan perjalanan berjam-jam hingga hitungan hari untuk bisa tiba di puncak. Bila tidak biasa berolahraga, calon pendaki sebaiknya melakukan jogging dua atau tiga kali seminggu, dilakukan dua hingga tiga minggu sebelum pendakian. Mulailah jogging tanpa memaksa diri, misalnya cukup 30 menit dengan lari-lari santai.
Tingkatkan waktu dan kecepatan jogging secara bertahap pada kesempatan berikutnya. Bila kegiatan itu terasa membosankan, dapat diselingi dengan berenang. Dua olahraga itu sangat bermanfaat meningkatkan endurance dan kapasitas maksimum paru-paru menyedot oksigen (Volume O2 maximum/VO2 max). Latihan push up, sit up, pull up sebaiknya juga dilakukan untuk memperkuat otot-otot.
Mendaki gunung yang baik dengan melangkah perlahan dalam langkah-langkah kecil dan dalam irama tetap. Dengan berjalan seperti itu, pendaki dapat mengatur napas, dan menggunakan tenaga se-efisien mungkin.

Perencanaan Perjalanan
Buatlah jadwal rencana kegiatan sehingga waktu yang tersedia digunakan se-efektif mungkin dalam bergiat di alam. Jadwal itu memungkinkan pendaki menghitung berapa banyak makanan, pakaian, peralatan harus dibawa, dan dana yang harus disiapkan.
Jadwal itu antara lain mencakup keberangkatan, jadwal dan rute pendakian, kapan tiba di puncak, jadwal dan rute pulang, dan seterusnya. Jadwal pendakian perhari dapat lebih dirinci dengan berapa jam jatah pendakian, pukul berapa dimulai dan kapan berhenti serta seterusnya.

Tahapan Perencanaan Perjalanan
Adapun tahap - tahap perencanaan perjalanan adalah sebagai berikut :
1. Pembekalan kemampuan memilih, mengatur, serta menggunakan peralatan, perlengkapan dan perbekalan selama perjalanan seperti kemampuan teknis menggunakan peta dan kompas, kemampuan membuat bivak, membuat api, dsb.
2. Pembekalan kemampuan fisik yang prima. Untuk itu diperlukan latihan fisik yang bisa menjaga dan meningkatkan kebugaran.
3. Pembekalan mental sehingga siap untuk menghadapi tantangan dan kegiatan berat dialam. Kekuatan mental ini hanya dapat ditumbuhkan dari dalam diri sendiri.
4. Pembekalan pemahaman yang baik terhadap kondisi alam yang akan dihadapi. Mencakup bagaimana memilih waktu berkegiatan yang tepat disesuaikan dengan kondisi alam dan lingkungan.


Faktor perencanaan perjalanan
Faktor-faktor perencanaan perjalanan meliputi :
1. Faktor Alam
Mencakup pemahaman mengenai lokasi tujuan, medan yang akan ditempuh, iklim di daerah yang akan dituju, dan hal lain yang berkaitan dengan lingkungan. Pengantisipasian hal ini adalah dengan melakukan studi literatur yang baik, analisis peta, pengumpulan informasi dari pemerintah setempat.
2. Faktor Peserta
Merupakan hal yang berhubungan dengan personil peserta perjalanan, mencakup pemilihan personil, leader, hierarki, diskripsi kerja dan tanggung jawab masing-masing, serta kemampuan setiap peserta perjalanan.
3. Faktor Penyelenggaraan
Mencakup faktor teknis, non teknis, serta semi teknis.
- Faktor teknis
Berhubungan langsung dengan tingkat kesulitan medan. Beberapa hal yang termasuk didalamnya yaitu penyiapan kemampuan personil, skenario dan sistem operasi, sistem pendokumentasian, serta hal yang berkaitan dengan masalah safety.
- Faktor non teknis
Daya dukung operasi yang tidak berhubungan dengan tingkat kesulitan medan. Mencakup masalah administrasi organisasi dan pendukung operasi global.
- Faktor semi teknis
Faktor ini hanya terdapat dalam ekspedisi-ekspedisi besar dan kompleks. Berhubungan langsung dengan tingkat kesulitan medan tapi bersifat non teknis. Misalnya masalah komunikasi, base camp team, advance-team, take in & out team, dan rescue team.



Teks oleh : Apriyanti Lestari

Baca artikel Ilmu Pendakian Gunung yang lainnya, biar pinter :
1. Peralatan dan Perbekalan Perjalanan
2. Peralatan Tidur/Berkemah
3. Makanan dan Minuman Pendakian

0 komentar:

Posting Komentar